Dalam ajaran Islam, ketika kita melihat kemungkaran, kita tidak boleh diam. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya — dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
— (HR. Muslim)
Dari hadis ini, kita diajarkan tiga tingkatan amar ma’ruf nahi munkar:
-
Dengan tangan (tindakan nyata) – jika kamu memiliki kekuasaan atau posisi yang memungkinkan, seperti orang tua kepada anak, guru kepada murid, atau aparat penegak hukum.
-
Dengan lisan (nasihat atau teguran baik) – jika tidak punya wewenang, maka sampaikan kebenaran dengan cara lembut dan penuh hikmah, tanpa menghina atau mempermalukan.
-
Dengan hati (menolak dalam hati dan menjauhi) – jika tidak mampu berbuat atau berbicara, minimal jangan ikut mendukung, dan tetap merasa tidak setuju terhadap kemungkaran tersebut.
Namun, penting juga untuk bertindak dengan bijak dan penuh adab, karena tujuan utama bukan sekadar menegur, tetapi mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan agar Allah ridha.
Dalam Islam tidak ada hukuman duniawi yang tunggal dan otomatis bagi orang yang sekadar diam saat melihat kemungkaran — tetapi diam dalam keadaan bisa mencegah keburukan menjadi dosa dan mendatangkan pertanggungjawaban di hadapan Allah, terutama bagi yang memiliki kewajiban atau wewenang.
Penjelasan lebih terperinci:
-
Tingkat tanggung jawab berbeda-beda
Nabi ﷺ mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar: ubah dengan tangan, jika tidak mampu maka dengan lisan, jika tidak mampu maka dengan hati (HR. Muslim). Orang yang punya kapasitas/ wewenang (orang tua, guru, pemimpin, aparat) mendapat tanggung jawab lebih besar; Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban…” (HR. Bukhari/Muslim). Jadi, jika seseorang bisa bertindak tapi memilih pura-pura tak tahu, ia berdosa lebih besar. -
Diam bisa bernilai dosa moral/taubat diperlukan
Diam tanpa usaha mencegah kemungkaran — ketika usaha mencegah mungkin dilakukan dengan cara yang baik — termasuk perbuatan tercela. Itu menjadi urusan moral dan agama; hukuman akhirnya adalah hisab (pertanggungjawaban) di akhirat kecuali jika orang itu bertaubat dan memperbaiki keadaan. -
Bukan izin untuk main hakim sendiri
Islam menganjurkan menegur dengan hikmah, tidak dengan kekerasan atau fitnah. Penegakan hukum sosial harus melalui mekanisme yang benar: nasihat bijak, melibatkan keluarga, sekolah, atau pihak berwenang; bukan vigilantisme yang bisa memperburuk keadaan. -
Langkah praktis yang dianjurkan
-
Evaluasi kemampuanmu (apakah kamu berada dalam posisi untuk bertindak?)
-
Tegur dengan lemah lembut dan rahmah; utamakan privasi agar tidak mempermalukan.
-
Bila masalah butuh penanganan lebih, laporkan ke pihak yang berwenang (sekolah, orang tua, aparat).
-
Doa, pendidikan agama, dan upaya sosial untuk mengatasi akar masalah (kemiskinan, kurangnya edukasi).
-
Jika merasa telah lalai, segera bertaubat dan berusaha memperbaiki.
-
-
Konsekuensi sosial dan spiritual
Diam yang pasif memungkinkan kemungkaran meluas dan merusak masyarakat; secara spiritual, orang yang mampu mencegah tapi memilih diam akan dimintai pertanggungjawaban. Namun penghakiman akhir tetap di tangan Allah, dan selalu ada jalan bertaubat dan menebus kesalahan.
Kalau ingin contoh tindakan praktis menegur dengan hikmah atau langkah-langkah advokasi di lingkungan sekolah/komunitas, saya bisa bantu susun naskah nasihat, template laporan ke pihak sekolah, atau rencana intervensi komunitas sekarang juga.
Komentar
Posting Komentar